Pages

Kamis, 21 Oktober 2010

Di Jalan Ini Cintaku Bersemi


Kawan, aku ingin mengajakmu menikmati sebuah kisah perjalanan yang menarik. Juga tentang jalan panjang yang seolah tak pernah ada ujungnya, walau kenyataannya memanglah ada. Hanya saja belum sekarang nampaknya. Bisa jadi tahun depan atau abad depan. Atau bahkan ketika jiwa kita telah terpisah dari raganya.

Jalan panjang yang beronak duri, hingga menjadikan jumlah mereka yang berguguran tidaklah sedikit. Duhai, tidakkah kau tahu? Tidakkah kau lihat? Atau, tidakkah kau yakin kalau di ujung jalan itu ada sebuah tempat yang indah? Mengapa banyak yang memilih berhenti atau bahkan berpaling arah hanya karena takut terinjak duri di langkah-langkah awal? Tidakkah kita sanggup merelakan sedikit kesakitan dan kelelahan ini demi kebahagiaan yang kekal nantinya?

Mengapa banyak yang menyerah, jatuh dan berguguran hanya karena tak sanggup lagi memikul beban ini? Kita bahkan lebih memilih meminta beban yang ringan ketimbang punggung yang kuat untuk menopangnya.

Malu kita pada pejuang-pejuang dakwah terdahulu. Pada Mus'ab bin Umair yang rela melepaskan kemewahan duniawi ketika diutus sebagai duta dakwah pertama, pada Hanzhallah yang begitu peka dengan panggilan jihad hingga rela meninggalkan keindahan malam pertama, juga kepada Abu Dujanah, Sang Ikat Kepala Merah yang mengorbankan tubuhnya sebagai perisai dari panah dan pedang yang menyerang Rasulullah di perang Uhud.

Pundak-pundak dakwah kini rindu semangat Usama bin Zaid yang menjadi panglima perang ketika usianya belum juga genap 20 tahun. Jalan ini rindu darah segar Bilal bin Rabbah yang ketika ditindih batu besar di tengah teriknya gurun pasir sekalipun, ke-Islamannya tak tergoyahkan. Atau, bisa jadi benar kata Khalifah Umar kalau perempuan-perempuan kini telah mandul untuk melahirkan putra setangguh Khalid bin Walid.

Ah, tapi tidak! Aku hampir saja lupa menceritakan kepadamu kawan, bahwa di jalan ini ternyata masih ada mereka yang kadang rela mengabaikan kebutuhan pribadinya demi kepentingan orang lain.

Aku temui mereka di universitas-universitas berpagar hutan ataupun kampus elegan dengan gedung bertingkat. Sering mereka berhimpun di masjid, pun di ruang-ruang sempit yang memojok di gang-gang yang tidak kalah sempitnya. Disebuah negeri yang seharusnya indah di mata dunia.

Maka, bacalah kisah yang kutulis ini. Dengan kebenaran sebagai penanya dan pengorbanan sebagai tintanya.

Di sini… Mereka menjelma sebagai batu bata yang menyusun sebuah bangunan yang akan menjadi guru bagi peradaban. Tahu mereka bahwa batu bata itu bebannya tidak ringan, juga tidak pernah protes kepada kontraktornya, di tingkat berapa ia kan diletakkan. Mereka pun faham, jika menampakkan diri sebagai batu bata hanya akan membuat bangunan tak lagi estetik, hingga mereka rela untuk ditutupi oleh semen.

Dan karena jalan panjang yang mereka tempuh bukannya tidak melelahkan, bukannya tidak menyakitkan, maka pada syahwat mereka belajar menguasai, bukan dikuasai.

Telah mereka kuras air mata, peras keringat, atau bahkan cecerkan darah selama perjalanan ini. Di dada mereka tertanam keyakinan bahwa kelak, ketika di yaumil hisab nanti ternyata amal kebajikan mereka tidak begitu memberatkan timbangan, maka mereka berharap kalau butir-butir air mata, bulir-bulir keringat, dan tetesan darah itulah yang akan menggenapkannya.

Malam hari di setiap minggunya, mereka membentuk sebuah lingkaran diskusi, mempererat ukhuwah, serta meningkatkan kapasitas keimanan yang mereka rangkum dalam sebuah aktivitas yang bernama halaqoh. Ratusan hari mereka berceceran bersama aktivitas ini. Memutar otak memikirkan format terbaik untuk melakukan perbaikan bagi umat hingga terkadang mereka lupa bahwa mereka juga mahasiswa kebanggaan keluarga, yang kepada mereka dititipkan harapan besar akan kesuksesan.

Tapi sering kali pula kau akan menemukan mereka berjuang di jalanan. Berteman polusi, bertetangga dengan bisingnya deru kendaraan, juga akrab dengan megaphone dan spanduk yang bertuliskan kalimat protes.

Demikian terpatrinya jargon dalam ruh-ruh mereka yang akan selalu muda itu, bahwa “Pejuang di siang hari, rahib di malam hari”.

Tidak ada lelah, sebab telah mereka wakafkan seluruh jiwa dan raganya.

Ah, tapi tidak juga, kawan. Terkadang mereka kelaparan juga ternyata. Ya, sebenar-benar lapar. Tapi sadarlah mereka bahwa badan hanyalah bungkusan fisik semata. Maka jangan heran jika kau temukan mereka, kau akan berpendapat sebagaimana orang kebanyakan; bahwa kondisi mereka tidak layak lagi untuk dikatakan “sejahtera” atau bahkan lebih pantas untuk dikategorikan “memprihatinkan”. Karena zuhud itu pilihan mereka. Setidaknya begitulah jalan dakwah mengajari mereka; panjang, berliku, melelahkan dan penuh pengorbanan.

Kawan, padamu aku titip pesan! Saat kau benar-benar bertemu mereka dalam kondisi seperti itu, usirlah pikiranmu seperti orang kebanyakan itu. Sebab merekalah pemuda yang menyala semangatnya, terjaga pandangannya.

Merekalah panah-panah terbujur, yang siap dilepaskan dari busur.

Merekalah pisau belati yang selalu tajam, yang siap dihentakkan dan menghujam.

Merekalah mata pena yang tajam, yang siap menuliskan kebenaran.

Maka, izinkan aku memperkenalkan mereka. Mereka tergabung dalam sebuah barisan dakwah yang bagi mereka, dakwah bukanlah pekerjaan sampingan.

Lahir di tengah sistem sebuah negara yang carut-marut. Korupsi yang kian subur. Kriminal kian menjamur. Kekuatan ekonomi pun nyaris terkubur. Sedang penguasa yang semakin luks vasilitasnya seakan semakin pulas tertidur.

Tapi mereka tak pernah berputus asa, sebab janji Allah akan sebuah kemenangan agama-Nya adalah sebuah keniscayaan.

Merekalah pemuda yang sepertinya sejarah sudah terlanjur menitipkan perubahan kepada mereka. Maka, dengan ruh tarbiyah yang mengalir dari nadi kehidupan, tangan terkepal dengan gagahnya untuk menggemakan takbir di bumi Allah.

Aku, sebagai bagian dari barisan ini, sebagai orang yang ingin hidup dan mati bersamanya, aku beritahukan…

Tak ingin aku mengambil tempat di tengah apalagi terbelakang.

Perkenalkan! Aku, mereka, dan kami semua, tergabung dalam barisan dakwah yang bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Dan suatu hari nanti, saat semua telah menjadi masa lalu, aku ingin berada di antara mereka yang bercerita tentang perjuangan yang indah. Di mana kita, sang pejuang itu sendiri, tak pernah kehabisan energi untuk bergerak, meski terkadang godaan untuk berhenti atau bahkan berpaling arah begitu menggiurkan.

Saudaraku, kita sudah memulai perkara ini. Maka kita tidak punya waktu yang cukup lagi untuk menundanya. Tak ada alasan lagi untuk tidak menuntaskannya, kecuali jika Allah telah memenangkan urusan (agama) ini, atau kita hancur bersamanya. Sampai ujung jalan itu nampak. Dan ujung jalan itu bernama..., KEMENANGAN! Bergerak, atau... MATI!!! STRUGGLE or DIE!!! Just choose it!

KAMMI itu lapar. Lapar pada semangat juang dalam membongkar tiap jubah penindasan keparat.

KAMMI itu haus. Haus akan gerak perlawanan terhadap ketidakadilan yang membuat rakyat melarat.

KAMMI itu jenuh. Jenuh pada kita yang selalu diam terbuai membiarkan kaum penindas menjadi kerabat.

Moga KAMMI tidak jadi berhala bagi keterasingan diri terhadap realitas.

Maka, satukanlah gumammu pada altar persembahan nan hakiki. Aku berjanji, maka aku menggamit revolusi.


Di salah satu pojok kota Bandung, 16 Oktober 2010,

ketika ombak-ombak cintaku padamu yang sempat pulas di tepi pantai hatiku kembali bergemuruh.


dari notenya Emi Rahyuni

*CoPas Ceritanya ^^

2 komentar:

Riadi Soe mengatakan...

bergetar mebacanya..........T_T
dari diriku yang tak seberapa ini
di usia yang semangkin menjulang..
malu rasanya,
hiks...

warna warni cakrawala mengatakan...

yups..
harus terus baca ini biar semangatnya terus menggelegar.

salam semangat selalu

Posting Komentar