Pages

Selasa, 26 Oktober 2010

Dia yang pertama dan yang terakhir

Bismillah. Alhamdulillah. Syukurillah. Masih diberi kesempatan untuk menghirup segarnya udara hari ini dan hangatnya mentari. Masih dititipkan segala nikmat yang takkan sanggup diucapkan. Alhamdulillah wa Syukurillah tak henti-hentinya terucapkan karena diberi kesempatan untuk mengenal agama indah ini, dituntun pada jalan yang mulia. Diperkenalkan kepada Rasulullah salallahu’alaih wasalam, pemberi cahaya ketika gelap gulita. Penuntun ketika kehilangan arah. Subhanallah, maha suci Allah Subhanallahuwata’ala yang memiliki segala keindahan bumi dan seisinya serta menjanjikan lebih indah pada akhiratNya. maha suci Allah Subhanallahuwata’ala, zat yang maha agung yang telah menghadirkan ku ditengah keluarga yang menginspirasi. maha suci Allah Subhanallahuwata’ala yang telah menghadirkan sosok-sosok luar biasa dekat dengan kehidupanku. Dan masih menitipkan akal sehat padaku untuk mengulas cerita tentang sosok yang luar biasa itu. Ibu.

Syurga di telapak kaki ibu. Sebuah ungkapan yang klise tetapi saya rasa tidak berlebihan. Menggambarkan apresiasi tertinggi pada salah satu ciptaan Allah Subhanallahuwata’ala ini. Ibu, mama, bunda, emak, ummi, mbok, atau apapun kita memanggil sosok luar biasa yang satu ini, dialah orang yang pertama memberikan senyum terindah ketika kita lahir didunia ini. Tak peduli, disaat yang bersamaan ia juga merasakan sakit yang luar biasa bahkan mempertaruhkan nyawanya. Lagi-lagi ungkapan klise ini kita dengar “mempertaruhkan nyawa”, tapi itulah yang membuat pembahasan tentangnya selalu menarik. Dialah orang pertama bangun ketika dimalam hari “kita kecil” menangis karena kehausan. Tak peduli pada saat yang bersamaan tubuhnya lesu karena kurang tidur akibat “kita kecil” yang rewel. Dialah orang pertama menghibur kita ketika “kita kecil” merasa begitu sedih dan menangis tersedu-sedu. Tak peduli dia pun sedang rapuh menghadapi problematika hidup yang rumit. Dialah orang pertama menyelimuti kita ketika “kita kecil” kedinginan karena kehujanan pulang sekolah. Tak peduli bajunya basah kuyup oleh air hujan karena memayungi kita dalam perjalanan pulang sekolah. Dialah orang pertama memeluk dan menyium kita ketika kita meraih prestasi gemilang. Tak peduli bahwa prestasi gemilang itu sesungguhnya bermula dari dirinya. Dan ketika kita beranjak remaja. Dialah orang terakhir tidur ketika larut malam kita tak kunjung pulang. Tak peduli badan yang mulai rapuh itupun lelah dan mengantuk. Dialah orang terakhir yang melahap makanannya ketika kita mulai memilih-milih menu makanan. Tak peduli dia pun sesungguhnya sedang menahan lapar. dialah orang terakhir memenuhi kebutuhannya sebelum kebutuhan kita terpenuhi.

**Suatu hari-ketika aku sudah sebesar ini- ketika malam sudah sangat larut. Allah subhanallah wata’ala menurunkan rahmatnya berupa hujan deras diikuti dengan petir yang menyambar-nyambar. Aku tersadar memandang sayup-sayup kearah pintu kamarku, disana ibuku berdiri dengan agak sedikit tergesa-gesa untuk melihat keadaanku. Memantau seisi kamarku, menarik ujung selimutku sampai kakiku benar-benar tertutup, kemudian memastikan keadaan baik-baik saja dan ia pun kembali kekamarnya.

Di tengah-tengah kelelahannya, ia sempatkan untuk terus menjaga kita dan memastikan keadaan kita baik-baik saja.

Tapi, pernahkah kita mengatakan “terimakasih” sekali saja, ditengah hari-hari biasa seperti sekarang bukan ketika ia ulang tahun atau bukan ketika hari ibu? Pernahkah? Ketika ia mencarikan sesuatu yang kita cari. Atau ketika ia membuatkan kita teh saat sarapan pagi. Atau ketika ia mengobati luka kita. Atau ketika ia membuatkan makanan istimewa ketika hari kelahiran kita tiba. Atau ketika ia memijat kaki kita yang terasa pegal. Atau ketika ia menelpon ketika kita tak pulang kerumah karena kegiatan yang padat dan ketika kita sedang keluar kota. Atau ketika ia mencucikan baju-baju kita menggunakan tangan karena listrik sedang mati sehingga tidak bisa menggunakan mesin cuci. Atau ketika ia membelikan kita sepatu baru ketika ia sedang belanja kepasar. Atau ketika ia berdiri di depan rumah seharian menunggu kita pulang dari perantauan. Atau ketika ia memberi restu pada jodoh yang telah datang pada kita walau usia kita masih muda sehingga ia belum siap berpisah dengan kita. Atau ketika ia membantu mengurusi anak-anak kita karena kita terlalu kerepotan mengurusinya seorang diri. Ketika ini. Ketika itu. Pernahkah, sekali saja, kita ucapkan “terimakasih” hanya satu kalimat, pernahkah? Jika memang pernah, berapa kali kita mengucapkannya, sekali, dua kali, sepuluh kali, ketika ia memberikan segalanya pada kita ribuan kali. Bandingkanlah? Tapi tidak kita ketahui bahwa ia tidak pernah mengharapkannya, ucapan satu kalimat itu tidak ia dambakan keluar dari mulut kita. Tapi, coba seandainya kita mencoba mengucapkannya besok pagi. Sekali saja. Ketika kita akan beraktifitas besok. Atau jika kita seorang perantau, ketika kita menelponnya besok pagi coba ucapkan satu kalimat itu. Walau tidak ia harapkan, tapi jika kita mengucapkannya ia akan sangat senang sekali. Menganggap kita masih mengingat jasanya walau ia sendiri telah lupa akan jasanya.

Tentang sosok kita hari ini, siapakah kita sekarang? Seorang mahasiswa berprestasi, aktifis bermental baja bersemangat bara. Seorang pemuda sukses, hidup kaya raya. Seorang walikota, gagah berani banyak pendukungnya. Seorang presiden, pemimpin yang bijaksana. Bagaimana kita hari ini? Itu semua karena sosok luar biasa yang dahulu mewarnai hari-hari kita. Kita bukan apa-apa jika tidak ada dia yang luar biasa.

Ini hanya segelintir kisah dari sosok luar biasa yang bernama ibu. Segelintir. Karena memang akan panjang lebar jika kita ingin mengulas tentangnya, sosok luar biasa.

**Untuk semua calon-calon ibu. tekadkan dihati bahwa kita juga harus menjadi sosok yang luar biasa. Azzamkan diri kita untuk melahirkan kembali Saifullah setangguh Khalid bin Walid. Yakinkan diri kita untuk membentuk khalifah semulia Umar bin Abdul Aziz.

Dari seseorang yang tidak lebih baik dari anda. MaTa ^^

Wallahu a’lam bi shawab

Sabtu, 23 Oktober 2010

Charger Iman


Ketika Seminggu penuh badan ini disibukkan dengan kegiatan menguras tenaga dan pikiran.
Ketika bathin ini mulai bosan pada kehidupan dunia yang fana.
Kala pesona pelangi seakan tak bergairah menampilkan keindahannya lagi.
Ketika gelegar petir tak lagi menggetarkan jantung ini.
Ketika semua itu terjadi.

Halaqoh pekanan menjadi moment yang sangan amat dinanti.

wisata ruhiyah yang menyenangkan.

cambuk diri yang dahsyat.

penghapus dahaga yang menyegarkan.

matahari yang menyinari.

embun yang menyejukkan hati.

menyapu habis segala kemalasan yang mulai menjamur.




~ditulis pada perjalanan panjang menuju sebuah pencapaian.
: : di salah satu halte Busway di sebuah kota industri. 12.14 wib. ditemani terik matahari dan debu yang berterbangan.
dari seseorang yang tidak lebih baik dari anda.
MaTa

Kamis, 21 Oktober 2010

Di Jalan Ini Cintaku Bersemi


Kawan, aku ingin mengajakmu menikmati sebuah kisah perjalanan yang menarik. Juga tentang jalan panjang yang seolah tak pernah ada ujungnya, walau kenyataannya memanglah ada. Hanya saja belum sekarang nampaknya. Bisa jadi tahun depan atau abad depan. Atau bahkan ketika jiwa kita telah terpisah dari raganya.

Jalan panjang yang beronak duri, hingga menjadikan jumlah mereka yang berguguran tidaklah sedikit. Duhai, tidakkah kau tahu? Tidakkah kau lihat? Atau, tidakkah kau yakin kalau di ujung jalan itu ada sebuah tempat yang indah? Mengapa banyak yang memilih berhenti atau bahkan berpaling arah hanya karena takut terinjak duri di langkah-langkah awal? Tidakkah kita sanggup merelakan sedikit kesakitan dan kelelahan ini demi kebahagiaan yang kekal nantinya?

Mengapa banyak yang menyerah, jatuh dan berguguran hanya karena tak sanggup lagi memikul beban ini? Kita bahkan lebih memilih meminta beban yang ringan ketimbang punggung yang kuat untuk menopangnya.

Malu kita pada pejuang-pejuang dakwah terdahulu. Pada Mus'ab bin Umair yang rela melepaskan kemewahan duniawi ketika diutus sebagai duta dakwah pertama, pada Hanzhallah yang begitu peka dengan panggilan jihad hingga rela meninggalkan keindahan malam pertama, juga kepada Abu Dujanah, Sang Ikat Kepala Merah yang mengorbankan tubuhnya sebagai perisai dari panah dan pedang yang menyerang Rasulullah di perang Uhud.

Pundak-pundak dakwah kini rindu semangat Usama bin Zaid yang menjadi panglima perang ketika usianya belum juga genap 20 tahun. Jalan ini rindu darah segar Bilal bin Rabbah yang ketika ditindih batu besar di tengah teriknya gurun pasir sekalipun, ke-Islamannya tak tergoyahkan. Atau, bisa jadi benar kata Khalifah Umar kalau perempuan-perempuan kini telah mandul untuk melahirkan putra setangguh Khalid bin Walid.

Ah, tapi tidak! Aku hampir saja lupa menceritakan kepadamu kawan, bahwa di jalan ini ternyata masih ada mereka yang kadang rela mengabaikan kebutuhan pribadinya demi kepentingan orang lain.

Aku temui mereka di universitas-universitas berpagar hutan ataupun kampus elegan dengan gedung bertingkat. Sering mereka berhimpun di masjid, pun di ruang-ruang sempit yang memojok di gang-gang yang tidak kalah sempitnya. Disebuah negeri yang seharusnya indah di mata dunia.

Maka, bacalah kisah yang kutulis ini. Dengan kebenaran sebagai penanya dan pengorbanan sebagai tintanya.

Di sini… Mereka menjelma sebagai batu bata yang menyusun sebuah bangunan yang akan menjadi guru bagi peradaban. Tahu mereka bahwa batu bata itu bebannya tidak ringan, juga tidak pernah protes kepada kontraktornya, di tingkat berapa ia kan diletakkan. Mereka pun faham, jika menampakkan diri sebagai batu bata hanya akan membuat bangunan tak lagi estetik, hingga mereka rela untuk ditutupi oleh semen.

Dan karena jalan panjang yang mereka tempuh bukannya tidak melelahkan, bukannya tidak menyakitkan, maka pada syahwat mereka belajar menguasai, bukan dikuasai.

Telah mereka kuras air mata, peras keringat, atau bahkan cecerkan darah selama perjalanan ini. Di dada mereka tertanam keyakinan bahwa kelak, ketika di yaumil hisab nanti ternyata amal kebajikan mereka tidak begitu memberatkan timbangan, maka mereka berharap kalau butir-butir air mata, bulir-bulir keringat, dan tetesan darah itulah yang akan menggenapkannya.

Malam hari di setiap minggunya, mereka membentuk sebuah lingkaran diskusi, mempererat ukhuwah, serta meningkatkan kapasitas keimanan yang mereka rangkum dalam sebuah aktivitas yang bernama halaqoh. Ratusan hari mereka berceceran bersama aktivitas ini. Memutar otak memikirkan format terbaik untuk melakukan perbaikan bagi umat hingga terkadang mereka lupa bahwa mereka juga mahasiswa kebanggaan keluarga, yang kepada mereka dititipkan harapan besar akan kesuksesan.

Tapi sering kali pula kau akan menemukan mereka berjuang di jalanan. Berteman polusi, bertetangga dengan bisingnya deru kendaraan, juga akrab dengan megaphone dan spanduk yang bertuliskan kalimat protes.

Demikian terpatrinya jargon dalam ruh-ruh mereka yang akan selalu muda itu, bahwa “Pejuang di siang hari, rahib di malam hari”.

Tidak ada lelah, sebab telah mereka wakafkan seluruh jiwa dan raganya.

Ah, tapi tidak juga, kawan. Terkadang mereka kelaparan juga ternyata. Ya, sebenar-benar lapar. Tapi sadarlah mereka bahwa badan hanyalah bungkusan fisik semata. Maka jangan heran jika kau temukan mereka, kau akan berpendapat sebagaimana orang kebanyakan; bahwa kondisi mereka tidak layak lagi untuk dikatakan “sejahtera” atau bahkan lebih pantas untuk dikategorikan “memprihatinkan”. Karena zuhud itu pilihan mereka. Setidaknya begitulah jalan dakwah mengajari mereka; panjang, berliku, melelahkan dan penuh pengorbanan.

Kawan, padamu aku titip pesan! Saat kau benar-benar bertemu mereka dalam kondisi seperti itu, usirlah pikiranmu seperti orang kebanyakan itu. Sebab merekalah pemuda yang menyala semangatnya, terjaga pandangannya.

Merekalah panah-panah terbujur, yang siap dilepaskan dari busur.

Merekalah pisau belati yang selalu tajam, yang siap dihentakkan dan menghujam.

Merekalah mata pena yang tajam, yang siap menuliskan kebenaran.

Maka, izinkan aku memperkenalkan mereka. Mereka tergabung dalam sebuah barisan dakwah yang bagi mereka, dakwah bukanlah pekerjaan sampingan.

Lahir di tengah sistem sebuah negara yang carut-marut. Korupsi yang kian subur. Kriminal kian menjamur. Kekuatan ekonomi pun nyaris terkubur. Sedang penguasa yang semakin luks vasilitasnya seakan semakin pulas tertidur.

Tapi mereka tak pernah berputus asa, sebab janji Allah akan sebuah kemenangan agama-Nya adalah sebuah keniscayaan.

Merekalah pemuda yang sepertinya sejarah sudah terlanjur menitipkan perubahan kepada mereka. Maka, dengan ruh tarbiyah yang mengalir dari nadi kehidupan, tangan terkepal dengan gagahnya untuk menggemakan takbir di bumi Allah.

Aku, sebagai bagian dari barisan ini, sebagai orang yang ingin hidup dan mati bersamanya, aku beritahukan…

Tak ingin aku mengambil tempat di tengah apalagi terbelakang.

Perkenalkan! Aku, mereka, dan kami semua, tergabung dalam barisan dakwah yang bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Dan suatu hari nanti, saat semua telah menjadi masa lalu, aku ingin berada di antara mereka yang bercerita tentang perjuangan yang indah. Di mana kita, sang pejuang itu sendiri, tak pernah kehabisan energi untuk bergerak, meski terkadang godaan untuk berhenti atau bahkan berpaling arah begitu menggiurkan.

Saudaraku, kita sudah memulai perkara ini. Maka kita tidak punya waktu yang cukup lagi untuk menundanya. Tak ada alasan lagi untuk tidak menuntaskannya, kecuali jika Allah telah memenangkan urusan (agama) ini, atau kita hancur bersamanya. Sampai ujung jalan itu nampak. Dan ujung jalan itu bernama..., KEMENANGAN! Bergerak, atau... MATI!!! STRUGGLE or DIE!!! Just choose it!

KAMMI itu lapar. Lapar pada semangat juang dalam membongkar tiap jubah penindasan keparat.

KAMMI itu haus. Haus akan gerak perlawanan terhadap ketidakadilan yang membuat rakyat melarat.

KAMMI itu jenuh. Jenuh pada kita yang selalu diam terbuai membiarkan kaum penindas menjadi kerabat.

Moga KAMMI tidak jadi berhala bagi keterasingan diri terhadap realitas.

Maka, satukanlah gumammu pada altar persembahan nan hakiki. Aku berjanji, maka aku menggamit revolusi.


Di salah satu pojok kota Bandung, 16 Oktober 2010,

ketika ombak-ombak cintaku padamu yang sempat pulas di tepi pantai hatiku kembali bergemuruh.


dari notenya Emi Rahyuni

*CoPas Ceritanya ^^

Jumat, 08 Oktober 2010

Meregangkan Otot, Menenangkan Fikiran

Bismillah..

Alhamdulillah, masih diberi kesempatan untuk menekan tombol-tombol keyboard setelah sekian lama tertinggalkan. cukup mengkhawatirkan mengingat azzam diri ini adalah menjadi penulis produktif, walau entah apa yang akan di tulis. kali ini, tentang sesuatu yang menarik (menurut saya). tentang rutinitas yang sering kita lakukan.

Baik, mula-mula saya ingin bercerita tentang aktivitas saya seminggu ini. sebagai mahasiswi yang baik dan benar, saya harus melaksanakan salah satu mata kuliah yang saya ambil semester ini. Peraktek Kerja Lapangan. tentu saja, ini menjadi hal yang membosankan bagi saya. saya tidak bisa kerja yang terpaku pada peraturan perusahaan yang mengikat. datang jam segini, pulang jam segini. huft. apalagi, malamnya saya masih harus kuliah. alhasil, jadilah saya benar-benar merasakan apa yang selama ini -hampir- tidak ingin saya rasakan. Kuliah, Kerja (kalau dalam sebuah buku di tambah lagi belakangnya dan Nikah). terlebih lagi jika dilihat pengararuhnya dengan badan yang kian mengering ini. semakin terlihat tak berdaginglah jadinya. tapi semua saya nikmati (masak iya?!).

baik, tentang yang ingin saya bicarakan kali ini. tentang tips mudah untuk mengatasi rasa pegal dan ngantuk setelah seharian duduk menghadap komputer, sedangkan malam harinya harus melanjutkan aktifitas kuliah (seperti yang terjadi pada saya). lakukan tips ini minimal 2 kali sepanjang jam kerja anda. misalnya jika kantor anda masuk jam 8.00 dan pulang jam 17.00, anda bisa melakukannya pada jam 12 lebih dan jam15 lebih.

tipsnya...
berkunjung kekamar mandi untuk membasuh muka, tangan, sedikit rambut, telinga serta kaki anda. kemudian ambil tempat yang nyaman dan bersih di kantor anda (biasanya ruangan ini tersedia di kantor-kantor). berdiri tegak sambil menarik nafas panjang, dan relaksasi pun dimulai...

tundukkan sedikit kepala anda ke arah lantai. tarik kedua tangan anda ke atas, cukup sampai di sebelah telinga anda kemudian lipat tangan di dada. tahan beberapa menit dengan membaca bacaan yang -saya rasa- sudah anda hafal. kemudian bungkukkan badan anda sehingga tangan anda bisa memegang bagian lutut, tahan beberapa menit (sambil membaca sesuatu lagi). kemudian kembalikan badan anda keposisi semula dengan tangan lurus kebawa.

selanjutnya, bawa badan anda ke arah lantai dengan posisi kaki menekuk (paha ketemu perut), kepala dilantai dan tangan berada di sebelah kanan dan kiri kepala anda. tahan beberapa saat dengan kembali membaca bacaan yang -sekali lagi- saya rasa anda telah menghafalnya. kemudian duduk dengan posisi menduduki kaki (paha ketemu betis). ulangi gerakan tadi sampai 4 kali.

lakukanlah dengan gerakan yang perlahan dan dengan konsentrasi yang tinggi.
relaksasi ini manjur untuk menghilangkan pegal-pegal disekujur tubuh, terutama dibagian punggung karena terlalu lama duduk. dan dapat mengusir ngantuk. serta meregangkan otot dan menenangkan fikiran.


Relaksasi ini biasa di sebut dengan SHALAT.
Slamat mencoba
















~ternyata, amalan-amalan yang sering kita lakukan itu bermanfaat. baik di perlihatkan secara langsung maupun tidak..
Salam Semangat Selalu
(MaTa) ^^