Pages

Selasa, 30 Maret 2010

crita tanpa judul

Ketika kau merasa sakit mata merupakan sakit yang sangat menyiksa, hingga kau tak dapat melihat secara jelas dan bahkan tak dapat membukakan mata dengan normal. Kemarilah… akan ku congkel mata itu dari tempatnya, dan ku tunjukkan mereka yang sakitnya antara hidup dan mati.

Jika kau menjadi tak nyaman dengan mata yang memerah itu. Kemarilah…. Akan ku teriakkan di telingamu bahwa ada yang lebih tak nyaman dari diagnosa dokter yang menyesakkan dada. Karena positif terkena penyakit yang mengerikan.

Jika kau menjadi sipencari perhatian dengan sakit sepele itu. Mari sini…. Akan ku betulkan posisi hatimu di rongga dada ceking itu. Ada mereka yang sekarat tapi tak bisa dapat perhatian dari orang terkasih…

Dan ketika diri menjadi egois sehingga membuat orang lain tersinggung karena ucapanmu.. mendekatlah padaku…. Dengan senang hati akan ku bengkokkan lehermu dan ku condongkan dia ke arah mereka yang selalu tabah dan semangat walau sakit tak ber-obat hinggap ditubuhnya…

Apa harus berada didekat mereka baru kau bisa menyadari Betapa beruntungnya dirimu saat ini??
Ketahuilah sobat… itu akan membuatmu kehabisan air mata…

***

Pagi cerah yang tak secerah mataku. Mata ini masih burem karena dua minggu nikmat sehat itu diambil pemiliknya. Pesan singkat masuk kedalam ponsel tuaku. Sebuah pesan dari saudariku tercinta, yang beberapa waktu ini kuhabiskan waktu bersamanya. Ia memintaku berangkat lebih pagi, karena ada hal penting yang akan diceritakan. Godaan dipagi hari. Perpanjang tidur adalah hal yang menyenangkan. Tapi kupaksa diri ini untuk memenuhi permintaan saudariku yang cantik itu.

Setelah menempuh perjalanan dengan kaki sekitar setengah jam aku tiba di tempat tujuan. “assalamu’alaikum” sapaku ketika masuk kedalam rumah yang kemudian disambut senyum manis wajah teduh dari gadis berjilbab putih dan tawa ringan dari para mujahid cilik. Dengan tergesa-gesa gadis berjilbab putih itu menyambutku dan berjalan ke ruang tengah seakan memintaku cepat mengikutinya.

Kutarik kursi tepat didepannya. Dan akhirnya kami duduk berhadapan. Wajahnya berubah jadi serius.
“afwan kak, saya titip anak-anak bentar ya. Saya mau pergi bentar dengan MR saya. Mau kedokter. . . .” intinya beliau curiga dengan kesehatannya yang menunjukkan gejala-gejala suatu penyakit.

Setelah panjang lebar bercerita matanya mulai berkaca-kaca. Dan aku?? Jangan Tanya. Ketika kubuka kacamata yang bertengger dihidungku, seketika air segar melunjur deras dari mata yang sudah bengkak ini. Tak bisa kubayangkan sobat. Jika prasangka itu benar. Betapa sulit--jika tak ingin disebut sengsara-- hidupnya. Gadis muda yang belum genap 20tahun. Harus melewati lika-iku hidup yang pahit. Dan kini.. prasangka akan penyakit itu… ahhh… itu membuat dada siapa saja yang masih memiliki hati didalamnya akan sesak seakan tak berongga. Kupeluk erat tubuhnya ketika ia pamit pergi. “hati-hati ya” pesan singkatku sebelum ia pergi.

Pikiranku tentangnya hilang ditelan tingkah-tingkah lucu wajah-wajah kecil ini. Sejenak kuterlena dengan kenikmatan dunia. Tertawa lepas. Membayangi punya keluarga mungil dihiasi dengan tawa-tawa mereka. Ikut bermain. Becanda. Tertawa lagi. Sampai hari menjelang siang. Kutelpon bapak untuk mengantarkan makan siang untukku. Karena saudaraku sedang pergi. biasanya kami masak untuk makan siang dan makan dengan lahap atau terburu-buru sambil bolak-balik meladeni anak-anak yang terik memanggil-manggil. Tapi siang ini mungkin saudaraku akan makan siang diluar.

Pintu belakang digedor. Salah satu anak berlari sambil berteriak “ibu *** datang”. Degg.. hati ini tersentak. Harap-harap cemas. Apa gerangan kabar yang ia bawa. Saat bersamaan pintu depan diketok. Bapakku datang mengantar makanan. Aku masuk keruang tengah dengan membawa bungkusan. Kulihat wajah saudariku tercinta. Asem. Ia tersenyum padaku. Tapi asem. “sudah makan?” kata itu yang bisa keluar dari mulutku. Ia menggeleng tak semangat. Matanya menyisakan bekas-bekas airmata. Hatiku mulai tak enak. Prasangka itu….

Ia menanyakan apakah aku sudah sholat. Kupersilahkan ia mengambil air wudhu duluan. Ia sholat dikamarnya dan aku sholat dikamar depan. Setelah solat aku terduduk lemas. Aku mendapat kabar ibunda dari sahabatku meninggal. Kanker rahim. Nyeesss. Hati ini meleleh berubah jadi lautan air mata yang siap tumpah. Aku menangis. Membayangkan perasaan sahabatku yang pilu ditinggal pergi orang terkasih. Aku menangis membayangkan wajah sendu saudariku tadi yang menyiratkan makna yang menyedihkan.

Aku bersihkan wajahku dari sisa-sisa air mata. Aku kembali keruangtengah yang ternyata sudah ada saudariku disana. Aku mengajaknya makan makanan yang tadi diantar bapakku. Aku tunjukkan bahwa porsinya jumbo, jadi cukup untuk dimakan berdua. Saat aku ingin mengambil piring kedapur. Saat aku berlalu disisi tempat duduknya. Ia berkata lirih. Yang walau samar tapi bisa kudengar… “hasilnya positif”…. Aku berhenti. “positif?” aku mengulang dengan suara yang tak kalah lirih. Nyaris tak terdengar. Seketika. Aku memeluknya. Erat. Wajahku tepat perada diubun-ubun kepalanya. Ia dan aku menangis. Menit-menit berlalu. Kami masih berpelukan dan menangis, seakan-akan seorang kakak yang rindu pada adiknya yang merantau di negri orang. Aku menarik kursi disampingnya. Aku menanyakan apa yang disampaikan dokter. Ia melontarkan kekhawatirannya. Akupun khawatir. Akankah ada harapan??? Tapi kita harus optimis. Aku mulai menyemangatinya. Dan iapun melontarkan kata-kata semangat yang ditujukan pada dirinya sendiri.

Saudari yang kucintai karena Allah.. semangatlah.. harapan itu masih ada.. aku akan selalu disini... membantu semampuku..

***

Aku merasa jadi orang tercengeng hari ini. Kenapa aku gampang sekali menagis hari ini?? Apa karena begitulah wanita?? Jika aku seorang pria. Apa aku tidak akan menagis dengan kisah hari ini?? Aku rasa bukan Cuma wanita yang cengeng. Mungkin pria juga.

1 komentar:

warna warni cakrawala mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar