Lagi-lagi rasa itu menyesakkan dadaku. Sakit. Ku coba berbicara pelan tak seheboh biasanya. Tapi rasa itu terus mendesak masuk kedalam rongga dadaku. Sesekali hilang. Samar. Kemudian kembali. Lagi. Dan lagi. Dadaku serasa digencet hingga menjadi kecil dan membuat nyeri. Ingin rasanya ku pecahkan sebagian rusukku agar dada ini menjadi lapang dan akupun bisa tenang. Tapi jelas tak mungkin.
Akhir-akhir ini rasa itu kian muncul. Hampir tiap hari. Jika rasa itu muncul aku hanya bisa mengeluh dalam hati “ah.. sakit lagi”
Sempat berfikir mungkin jantungku tertusuk salah satu rusukku hingga membuatnya bolong. Atau jantungku mengkerut hingga menjadi kecil sekali. Ah.. kutepis kemungkinan-kemungkinan aneh yang ku ciptakan sendiri. Ku coba kembali kosentrasi pada akhwat yang sedang berbicara lemah lembut didepanku. Suatu ketika ia menjadi guru ngajiku. Suatu ketika pula ia menjadi partner kerjaku. Dan kini ia sedang memberikan pelatihan kecil-kecilan padaku seorang.
Lama kelamaan rasa itu hilang. Hanyut bersama tangisan si mujahid cilik yang ada dipangkuan sang ummi. Ku perhatikan akhwat yang kukenal setahun belakangan ini. Betapa repotnya mengurus si kecil yang mulai gelisah. Betapa repotnya membagi waktu antara keluarga dan berkegiatan. Ah.. dadaku kembali sesak dengan bayangan-banyangan kerepotan yang belum-belum telah menghantuiku. Kembali kupusatkan pikiranku pada buku kecil yang kupegang.
Mungkin saudariku itu mengetahui kegelisahanku, yang kemudian ia menyudahi pertemuan kami hari ini. Akhirnya, aku bisa pulang juga. Berjalan sedikin membuat dadaku sedikit plong. Aku bertemu dengan teman sekelasku yang ingin mencari makan. Kami pun berbincang-bincang dan untuk sementara aku lupa dengan rasa sakit didadaku. Hidup sebagai anak kostan seperti temanku ini menuntutnya untuk mengurusi diri sendiri. Kubayangkan diriku menjadi seorang anak kost. Aku rasa maghku semakin meradang karena pola makanku yang berantakan.
***
Aku meremas ibu jari tanganku sendiri saat bus kota yang ku tumpangi meluncur cepat dijalanan. Mungkin si supir lupa kalau ada puluhan nyawa di dalam sini. Tapi tak kuhiraukan tingkah aneh si supir. Kembali kuremas jari-jari tanganku ketika dada ini kembali terhimpit. Ku remas ibu jariku kuat-kuat, berfikir bahwa itu adalah tombol pembuka pintu didadaku yang terkunci rapat hingga tak ada udara yang dapat masuk. Aku berharap pintu akan terbuka dan segala sesak akan keluar bersama nyeri dan gencetan-gencetan yang menyakitkan. Tapi pintu tak kunjung terbuka. Dada ini justru semakin sakit rasanya. Ku arahkan mataku pada pemandangan diluar sana agar bisa kuprediksi berapa lama lagi aku akan tiba dirumah. Kujumpai genangan air yang meluas. Luas sekali. Sebuah danau yang merupakan pintu gerbang menuju kecamatan tempatku tinggal. ingin rasanya aku menceburkan diri kedalam danau buatan itu, terus tenggelam sampai kedasar hingga besok masyarakat akan menemukanku terapung tak bernyawa dan tentunya tanpa rasa sakit didadaku. Ah.. kutepis khayalan-khayalan putus asaku jauh-jauh. Kulihat hutan lindung yang menunjukkan pohon-pohon yang berjajar berantakan tapi penuh pesona. Rumahku semakin dekat. Rasa sakit itupun kian samar. Huff.huff.. kuhembuskan pelan nafas ini berulang-ulang sampai ku dapatkan situasi yang nyaman. Akupun kembali tenang. Yah.. beginilah. Kadang kurasakan sakit yang teramat sangat dan kadang rasa sakit itu sirna walau masih menyisakan nyeri tapi itu samar kurasakan.
Jumat, 02 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Yang sabar ya ukhti......
Tapi kk gk ngerti dgn sakit yg sitah rasa. ini sakit dlm konotasi or denotasi ya?
Mungkin suatu hari kk kan tw apa yg sitah maksud
hehe,
sakit dlm arti kata sebenarnya bu suster.
Posting Komentar